Beberapa pengerajin genting
kepada wartawan menjelaskan selama ini tidak ada larangan atau himbauan dari
beberapa desa lain yang kebetulan mereka lalui untuk mengangkut matrial tanah
pembuat genting. Namun sejak dua minggu terakhir ini para pemilik colt gundul
pengangkut tanah disetop dan dilarang melintas jalan desa Wiro karena dianggap
sebagai penyebab utama rusaknya jalan mereka.
Dengan adanya larangan tersebut
beberapa perwakilan pengerajin genting dipimpin oleh ketua paguyuban pengerajin
Genting Agus mencoba melakukan pendekatan dan negoisasi dengan pihak desa Wiro
dan perangkat desa. Namun hingga kini belum ada titik temu, karena kepala Desa
Wiro bersikukuh dengan penerapan penarikan ristribusi sebesar Rp 5000/rit
sekali lewat, sesuai keinginan warga.
“Kami sudah berusaha untuk
mencari jalan keluar agar semua berjalan baik. Namun dari pihak desa sesuai
yang disampaikan Kepala desa Wiro, mereka menetapkan penarikan uang sebesar Rp
5000/rit atau sekali melintas. Permintaan ini belum kita sanggupi dan pegerajin
menyatakan tidak sanggup. Namun kalau hanya Rp 1000 atau Rp 1500/rit kita masih
mampu berpikir”, ujar Agus ketua paguyuban pengerajin genting.
Selain itu lanjut Agus pengerajin
telah menawarkan pada pihak desa siap membantu ikut berpartisipasi dalam
pembangunan, dengan cara membayar kas desa sebesar Rp 200 ribu/bulan. Namun
tawaran tersebut ditolak mentah mentah oleh kepala desa Wiro yang bersikukuh tetap
memasang bandrol Rp 5000/rit.
“Jika kepala desa tetap melarang,
mending kami cari jalan lain. Selain itu kami akan segera berkirim surat ke
Bupati dan DPRD, terkait masalah ini. Karena secara tidak langsung larangan ini
telah mengganggu para pengerajin genting. Selain itu sesuai UUD 1945 tertulis, Bumi, tanah dan air dan seisinya dikuasai
negara untuk kepentingan orang banyak. Jadi jika ada klaim jalan desa milik
desa itu tidak benar”, tegasnya.
Kepala Desa Wiro Agus Riyadi saat
dikonfirmasi tidak ada ditempat. Namun salah satu perangkat desa membenarkan jika
telah ada pertemuan dengan pihak pengerajin dan salah satu isi pertemuan desa
meminta uang ristribusi sebesar Rp 5000/rit. Namun ditegaskan tidak dalarangan
melintas.
“Secara resmi kami belum
melakukan larangan melintas mas. Saat ini tidak ada pemasangan portal atau rambu-rambu
larangan, walau kondisi jalan kami sudah cukup rusak. Sehingga tidak benar jika
kami melarang armada melintas. Namun
dalam pertemuan tersebut memang dari pihak desa Wiro meminta agar setiap armada
pegangkut tanah dikenai uang ristribusi sebesar Rp 5000/rit.
Sementara salah satu pengerajin
mengatakan, sebenarnya jalan yang rusak serta adanya talud yang roboh bukan
karena sering dilalui angkutan colt T pengangkut tanah. Jalan dan talud rusak terjadi
karena pada saat itu jalan tersebut dijadikan jalan alternatif saat dibangunnya
jembatan besar di Paseban Bayat yang menghubunhgkan jalur Cawas, Bayat Klaten
beberapa waktu lalu. Sehingga saat itu hampir semua armada termasuk truk besar
melewati jalan tersebut.
“Jalan yang kita lewati tidak
lebih dari 200 meter, dan kerusakan tidak semata karena armada angkutan tanah,
karena kita hanya memakai armada colt T, dengan tonase yang relatif ringan. Tapi
kalau semua kerusakan lantas dibebankan pada kami, jelas kami menolak dan keberatan.
Namun kalau hanya dimintai partisipasi uang pembangunan kita siap, sebatas wajar
dan kita mampu”, ujarnya.(neo)
0 komentar:
Post a Comment
Tanggapan dengan menyertakan identitas tentu akan lebih berharga...