![]() |
Sisa sisa kejayaan tobong gamping di dusun Kampak |
Dulu
hampir seluruh warga Kampak dan sekitarnya mengais rejeki dengan membuka usaha
pembuatan kapur (gamping). Selain di Kampak, usaha pembuatan gamping juga ada hampir
menyebar di seluruh wilayah Klaten,
seperti di Prambanan, Wedi, Glodokan, Buntalan dan lainnya. Puluhan rumah
tobong yang hingga kini masih berdiri dengan latar belakang gunung kapur
Kampak, adalah bukti sisa sisa kejayaan jika dukuh Kampak dulu memang merupakan
pusat pembuatan gampir terbesar di Klaten.
Tahun
1960 hingga akhir tahun 1980 adalah masa kejayaan para pengerajin dan pengusaha
batu kapur di Klaten khsusunya di dukuh Kampak, Jimbung. Hampir setiap pagi
kita bisa melihat rombongan gerobak yang digeret sapi atau dengan kuda berjalan
beriringan mengantar semua pesanan gamping
ke toko toko matrial atau perorangan ke berbagai pelosok wilayah Klaten.
Seiring
kemajuan jaman dan munculnya semen gresik dengan harga murah, membuat usaha
pembakaran gamping berangsur surut. Satu demi satu pengusaha batu kampur di
Klaten gulung tikar. Tobong gamping besar seperti yang ada di Pandansimping,
Wedi dan Gelodoganpun terpaksa tutup karena gamping tak laku lagi. Mereka tak
mampu bertahan karena beaya produksi yang semakin mahal tak sebanding dengan
harga jual gamping yeng relatif murah, ditambah sepinya pembeli karena beralih
menggunakan semen gresik.
Usaha
tobong gamping di dusun Kampak kini memang tidak lagi menjadi usaha yang
menjanjikan. Mereka yang tetap nekad bertahan saat inipun tidak sekedar ingin
meraih keuntungan, namun lebih didasari ingin tetap mempertahankan citra
Kampak, sebagai desa penghasil Gamping yang pernah besar di masanya.
Untuk
sekali bakar menurut ibu Tentrem satu tobong gamping mampu menampung 15 colt
batu kapur, dengan harga Rp 100.000/satu rit. Untuk jumlah sekian minimal
dibutuhkan 5 rit bahan bakar kayu seharga kurang lebih Rp 800.000,-. Dalam
sekali pembakaran mampu dihasilkan sekitar 2800 kantong gamping siap jual
dengan harga satu kantong besar Rp 9000 dan yang kecil Rp 5000,-
“
Jika dihitung dengan harga jual yang murah serta ongkos produksi yang mahal,
sebenarnya usaha ini sudah tak mampu bertahan mas. Namun demi menyambung hidup
dan nguri-uri keberadaan tobong gamping di kampak”, kita mencoba bertahan
hingga saat ini, ujar mbok Tentrem.
Kemajuan teknologi yang serba canggih memang tidak bisa dibendung. Kita harus pandai memanfaatkan dan mengkolaborasikan yang moderen dengan yang konvensional untuk menghasilkan sesuatu yang tetap bisa dinikmati orang banyak. Tak bisa kita menyalahkan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi akan terus berinovasi dan berkembang tanpa batas. Tinggal mampukah kita menggunakannya.
Sama
halnya dengan keberadaan batu kapur(gamping) dari Kampak. Sudah saatnya warga
atau pengusaha yang kini masih bertahan, untuk berinovasi dengan produk yang
dihasilkan. Bagaimana caranya mengolah gamping atau batu kapur tidak sekedar
menjadi bahan bangunan seperti dilakukan selama ini.(adv)
Mbokdekuu itu mbokde merto 😂😂😂 rumah mbahku juga pas banget didepan tobong 😂😂 kenal banget sama jalanannya
ReplyDelete