Namun disaat ada sebagaian warga yang “mengharamkan” budaya
Sadranan untuk dilakukan, lain halnya yang terjadi di desa Mendak, Kecamatan
Delanggu, Klaten Jawa Tengah. Di desa ini Minggu sore (14/5) ribuan warga dari
Desa Mendak dan sekitarnya berkumpul
bersama di komplek pemakaman untuk melakukan ritual kenduri dan
mendoakan para leluhur.
Berbondong-bondong warga desa Mendak dan sekitarnya
dengan membawa tenong yang berisikan aneka makanan dan jajanan tampak ceria
menuju makam. Nasi tumpeng, ingkung jajan pasar, aneka makanan dan buah-buahan
meraka bawa dari rumah masing masing. untuk didoakan dan kemudian diperebutkan
dan dimakan bersama.
Acara kenduri sendiri dilakukan oleh salah satu tokoh
masyarakat yang dituakan atau lazim disebuh mbah Kaum atau modin untuk memimpin
doa. Selain mendoakan sesaji berupa makanan lauk pauk dan buah buahan agar
berkah saat dimakan, mereka juga mendoakan para leluhur mereka yang telah
meninggal.
Selesai berdoa, tanpa dikomando para peserta kenduri
yang terdiri dari semua lapisan, tua, muda, lelaki perempuan anak anak hingga
orang dewasa, langsung saling bertukar makanan atau berebut makanan. Setelah
selesai merekapun lalu makan bersama-sama, sebelum pulang kerumah
masing-masing.
Kepala Desa Mendak Bandel Harsono menjelaskan budaya
Sadranan di wilayahnya akan terus dipertahankan dan lestarikan. Sebagai orang
yang dituakan, dirinya merasa terpanggil untuk nguri-uri budaya nenek moyang agar tidak punah tergantikan oleh
budaya asing.
“Tradisi Sadranan sangat kaya makna dan penuh filosofi
tinggi mengadung ajaran ajaran baik yang bernilai tinggi. Sangat sayang jika
Sadranan dihilangkan dari kehidupan budaya orang Jawa. Maka menjadi tugas kita
semua untuk tetap melestarikan tradisi
Sadranan, dan memberi pemahaman yang benar pada apara generasi penerus agar
bisa membedakan antara ajaran agama dan seni budaya”, ujarnya.
Tradisi Sadaranan jelang memasuki bulan puasa ini
memang sangat mengasyikkan dan menyenangkan, karena ditempat ini kerukunan,
kebersamaan begitu tampak. Warga begitu guyub rukun dalam bermasyarakat tanpa
ada sekat dan strata diantara mereka . selain itu saat sadranan banyak perantau
pulang kampung untuk “nyekar” keluarganya yang sudah meninggal.
Kini Tradisi Budaya nenek moyang yang kaya makna dan
sarat filosofi ini sudah tidak bisa ditemui di semua daerah seperti dulu lagi.
Karena saat ini ada sebagian warga yang menolak dan menentang kenduri Sadranan karena
dianggap musrik dan tidak ada dalam ajaran agama. Padahal jaman dulu dalam
setiap tradisi sadranan dibarengi tradisi rasulan dengan perhelatan pertunjukan
wayang kulit semalam suntuk.(ajipamungkas)
0 komentar:
Post a Comment
Tanggapan dengan menyertakan identitas tentu akan lebih berharga...