![]() |
Masjid Djasem dalam perlindungan Dinas Purbakala |
Sebut saja Masjid Golo dan makam
Ki Pandanaran di Tembayat, Makam Sunan Gribik di Jatinom, Makam Ronggo Warsito
pujangga sakti dari keraton Solo di Palar Trucuk, Makam Panembahan Romo dan
Panembahan Agung di Kajoran, Makam Eyang Melati, situs makam di puncak bukit
Bekonang dan Bandungan Wedu, situs makam Eyang Melati dan masih banyak lagi.
Dari sekian peninggalan tersebut,
warga Klaten pada umumnya masih banyak yang belum tahu atau memang sengaja
melupakan sebuah situs peninggalan sejarah yang tak kalah penting yakni
keberadaan “masjid tiban” Majasem, yang terletak di dukuh Majasem, Desa
pakahan, Wedi Klaten, jawa Tengah. Padahal masjid ini tak kalah penting dalam
sejarah penyebaran agama Islam di pulau jawa khususnya di wilayah Klaten.
![]() |
Tetenger yang ada di tembok masjid Majasem |
Dalam prasasti yang terpasang di tembok masjid
terpasang angka tahun 1385 M, yang mungkin dapat diyakini tahun dibuatnya
masjid tersebut. Namun menurut perkiraan Haji Parijo Dwidjowiyoto BA salah satu
sesepuh dan mantan pengurus masjid, dikatakan masjid jasem dibuat sekitar tahun
1785, setelah terjadi perjanjian babat Giyanti.
“Kalau menurut perkiraan saya
masjid Jasem dibuat sekitar tahun 1785, setelah ada peristiwa babat Giyanti.
Karena keberadaan masjid ini tak lepas dari bersatunya dua saudara putra Sultan
Pajang Hadiwijoyo yang saat itu rebutan
kekuasaan. Karena meraka dapat rukun maka tak lama kemudian berdirilah masjid
ini”, ujar Mbah pariyo cucu dari pengurus masjid Majasem terdahulu.
Menurut Kakek kelahiran tahun
1932 dari 12 cucu ini, masjid Baithul Makmur yang kini lebih dikenal dengan
nama masjid Majasem ini dibuat oleh Pangeran Ngurawan, sosok tokoh yang
berhasil mendamaikan dua putra Sultan Hdiwijoyo Pajang. Dimana dalam perebutan
kekeuasaan tersebut mereka mau berdamai. Untuk selanjutnya salah satu putra
Sultan pajang diberi tanah di daerah Bringharjo dan mendirikan kerajaan dengan
gelar Sultan Hamengkubowono I. Sedang Yang di Solo mendirikan kerajaan sendiri
dan bergelar Sultan Pakubuwono I.
![]() |
Mbah Parijo Dwidjowijoto BA cucu pengurus masjid terdahulu |
Pada Saat itu Sultan Hadiwijoyo
pajang tak mampu mendamaikan kedua putraanya. Maka dibuatlah sayembara siapa
yang bisa mendamaikan kedua putranya akan diberi hadiah berupa tanah perdikan.
Maka munculnya pangeran Ngurawan yang mampu merukunkan keduanya, dikenal dengan
istilah babat Giyanti. Dan atas keberhasilanya beliau diberi tanah perdikan di
wilayah antara keraton Jogyakarta dan Surakarta. Dan sejak itu beliau menetap
di tempat tersebut dan mendirikan sebuah Masjid yang kini dikenal dengan nama
pedukuhan Majasem yang berasal dari kata Mojo dan Asem.
Mengapa di sebut Majasem, Konon
saat pertama kali masuk ke wilayah tanah perdikan Pangeran Ngurawan dan
keluarga hanya ditemani beberapa cantrik dan sanatrinya. Tanah yang masih hutan
belukarpun lama lama ramai menjadi padukuhan. Seiring makin ramainya pedukuhan
beliau bingung karena tempat tinggalnya belum punya nama. Kebetulan di sekitar
tempat yang masih berujud hutan belukar tersebut banyak pohon Mojo dan Asem
yang besar, maka sang pangeranpun berkata pada seluruh pengikut dan warganya
jika padukuhan tersebut bernama dukuh Mojo Asem. Nama itu sendiri lama lama
menjadi Mojasem (majasem) hingga sekarang.(1.bersambung)
boleh koreksi? kalau babad giyanti setelah mataram ada di kartasura jadi bukan putera Sultan Hadiwijaya. namun saat paku buwono II. pembagian mataram menjadi surakarta dan yogya di tahun 1755. surakarta lalu di bawah Paku Buwono III sedang yogyakarta di bawah hamengku buwono I.
ReplyDelete