![]() |
Topeng Selalu menutup wajah asli pelaku |
Tapi hasil pemilu yang demokratis bukan perkara yang mudah. Pemilihan
preside secara langsung diikuti dengan pemilihan gubernur serta kepala daerah
atau walikota secara langsung merupakan pernik pernik dalam mengggapai
kekuasaan. Tantu saja kekuasaan yang demokratis menjadi nubuat bagi
kesejahteraan atau dalam soal lain demokrasi menjadi pararel pembrentasan
kemiskinan.
Kredeo seorang obelisk ekonomi 2000, Amartya Sen mengatakan demokrasi
berbanding lurus dengan kemiskinan. Semakin tinggi derajat domokrasi, tingkat
kemiskinan semakin kecil. Dalam kontek kekuasan daerah yang dimanifestasikan
melalui Pilkada langsung, pemilihan langsung menjadi menjadi pangkal utama.
Seiring dengan munculnya tokoh tokoh lokal, semacam Pemilihan Bupati menjadi
daya tarik tersendiri bagi mereka yang gandrung terhadap kekuasaan. Apakah itu
partai pendukung ataupun sekadar sukarelawan atau tim sukses sorang bupati.
Ketika seorang calon bupati tampil
tentu pendukung atau simpatisannya berada di belakang untuk menyukseskan
calonnya. Mereka ada yang berperilaku mendukung sepenuh hati, ada yang pura
pura mendukung dan ada yang ‘berani mati’ sebagai martir calonnya. Namun di
balik dukungannya tentu ada “hitungan” tersendiri dengan kata amsal, “jika
calonku terpilih menjadi bupati, aku harus tagih janji terhadap pengorbananku.”
Tentu politik balas budi jadi hitungan yang utama. Bukan sesuatu yang haram
jika kita bicara balas budi.
Namun para pendukung semula berantipati terhadap calon terpilih, tentu
segera berubah haluan ketika calonnya kalah. Mereka tidak tinggal diam dan
menyerah begitu saja. Dengan berbagai tipu muslihat dan caranya mereka mremo
mremo mendekat dan taampil seolah menjadi loyalis yang pertama di mata calon
terpilih. Wajah wajah lusuh yang dulu berseberangan justru selalu tampil
digarda terdepan. Mereka memakai topeng yang bisa menyulap dirinya seolah olah
menjadi pendukung yang sangat loyalis, demi menyingkirkan pendukung awal bupati
terpilih yang setia.
Kini ‘topeng topeng’ itu mulai berkeliaran dan menari-nari dihadapan Bupati
terpilih. Padahal kemanakah diri mereka saat kampanye jelang Pilkada Desember
lalu..? Dan apakah para penari topeng itu akan mendelik dan beringsut dengan
pertanyaan itu? Tentu tidak, para pemaki topeng itu justru makin beringas. Mereka
semakin gila memainkan ritme tariannya. Dan akhirnya Bupati terpilih harus tetap
hati hati dan selalu wapada. Karena “Dimana Angin Bertiup Aku Ikut” itulah
semboyan mereka.
Topeng topeng yang kini mulai terlihati, tidak hanya dari para pendukung
yang semu. Tapi juga tumbuh subur di
kalangan PNS dan pejabat. Sikap PNS yang kini cepat beralih haluan tentu punya
maksud penyelematan diri. Tentu pula untuk masa depan karier dan jabatannya. Dan
semua itu kini amat sangat jelas sekali. Yang dulu berada di seberang jalan
kini mulai mendekat. Bahkan merekapun tak segan untuk memfitnah pendukung setia
Bupati terpilih.
Kemana akan lari..? ya tentu akan menempel pada kekuasaan. Kekusaan memang
magnet tersendiri. Dan berharap Bupati terpilih tetaplah waspasda. Mereka
hanya ovunturir yang bias berubah setiap saat ini. Ini terbukti ketika Pilkada
selesai. Selamat bekerja Bupati-Wakil Bupati terpilih. Jangan terpengaruh para
opurtunis. Bahaya. Selamat menenuaikan tugas lima tahun mendatang.
(penulis adalah wartawan
senior dan pemerhati politik)
0 komentar:
Post a Comment
Tanggapan dengan menyertakan identitas tentu akan lebih berharga...