“ketidak puasan” atas gaji yang mereka terima selama ini. Ini artinya gurupun minta diperhatikan dan dihargai jasanya.
DPRD Klaten Jawa Tengah, baru
saja kedatangan “tamu” Kamis (2/4). Ratusan wali murid mengadu sekaligus melapor pada
wakil rakyat, karena selama ini merasa masih dijadikan “sapi perah” oleh
sekolahan yang dalam hal ini tak lain adalah oknum guru setempat. Banyaknya
pungutan disekolah dengan berbagai macam dan dalih, selalu menjadi momok
menakutkan wali murid. Karena jika tidak memenuhi apa yang telah menjadi
kebijakan sekolah, jangan harap sang anak kerasan mengikuti pendidikan
disekolah.
Dihadapan anggota
komisi IV yang membidangi pendidikan, mereka mengadu daan mengeluh tentang banyaknya pelanggaran pungutan
liar di sekolah masing masing. Ratusan orang tua murid yang tergabung dalam
wadah SANGGAR KEBANGSAAN, melapor satu persatu tentang kasus yang menimpa
anaknya. Andi Purnomo dan Eko “loket” Prasetyo sebagai ketua Komisi IV dari
fraksi PDI Perjuangan menerima dengan antusias. Dirinyapun akan segera memanggil Dinas Pendidikan Klaten,karena mengakui banyak
sekali aduan pelanggaran yang mereka bawa. Komplek, variatif dan hampir terjadi
diseluruh sekolahan di Klaten.
Teror, ancaman bahkan pengucilan
dilakukan oleh sekolah tersebut, jika sang anak tidak mampu memenuhi apa yang
jadi “permintaan” mereka. Entah dalih uang kenang kenangan, uang gedung, uang
seragam, uang LKS dan masih banyak lagi. Dan jangan berpikir anda minta keringan
beaya karena anak anda berasal dari keluarga miskin. Karena banyak sekolah di
Klaten yang tidak mau menggeratiskan siswanya begitu saja. Walau anak tersebut masuk
dalam katagori miskin.
Kemana larinya uang hasil
“rampasan” dari para orang tua siswa tersebut. Secara normatif gurupun akan
menjawab, untuk menutup kekurangan beaya oprasional.
Padahal sesuai PP nomor 17 tahun 2010, pasal 181 dan 53B, jelas tertera semua
pengadaan keperluan sekolah dilakukan oleh orang tua siswa, sehingga sekolah
tak berhak menjual seragam. Siswa tidak mampu berhak menikmati pendidikan
secara baik dan gratis, tapi nyatanya mereka tetap mbayar. Dapat dipastikan
jawaban pertanyaan diatas tadi ialah “ dibagai sama rata sama rasa” oleh oknum
guru. Alasan mereka toh ini panen setahun sekali.
Kejadian di atas adalah bagian
kecil dari rangkaian peristiwa besar yang muncul terekam kepermukaan. Masih banyak
kasus lain yang lebih besar belum terungkap atau memang sengja tidak diungkap. Baik masalah
finansial hingga tindakan moral dan
etika. Menarik dari semua peristiwa itu, masih relevankah syair hymne guru yang
mengatakan “Engkau adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Masih layakkah mereka disebut
sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, toh mereka juga suka demo menuntut kenaikan
gaji. Terkadang perilakunyapun melebihi koruptor, mampu menjadi “mesin gergaji
potong” di sekolah. Jika dulu pepatah mengatakan guru digugu dan ditiru, kini
saatnya diganti, “GURU” tak layak lagi digugu dan di tiru. Merekapun bukan
lagi pahlawan tanpa tanda jasa, tapi pahlawan pengharap jasa.( Tegoeh Batavia.
Penulis adalah wartawan mattanews.com)
0 komentar:
Post a Comment
Tanggapan dengan menyertakan identitas tentu akan lebih berharga...